Langendriyan adalah
kesenian Jawa yang berbentuk drama tari. Apabila Langendriyan dibandingkan dengan
wayang orang yang juga satu bentuk drama tari, tetap memiliki perbedaan.Perbedaan
itu tampak pada bentuk dialog yang digunakan. Bentuk pertunjukkan wayang orang
pada umumnya menggunakan dialog antawacana (percakapan biasa) dan kadang-kadang ada
sedikit tembangnya, sedangkan Langendriyan semua dialognya menggunakan tembang.
Oleh karena itu, dapat disebutkan bahwa Langendriyan adalah dramatari dengan menggunakan
dialog tembang. Artinya pemeran tokoh dalam cerita Langendriyan ketika berdialog
menggunakan tembang macapat, yang kadang-kadang dalam satu pupuh tembang dibawakan
oleh seroang saja, tetapi terkadang juga dibawakan oleh lebih dari satu orang
secara bergantian.
Dialog dalam Langendriyan
sangat erat kaitannya dengan nilai sastra. Jalinan cerita tercipta melalui urutan
tembang sehingga memiliki nilai sastra yang sangat tinggi.Menganalisis naskah Langendriyan
kemudian mempublikasikannya di hadapan pembaca kekinian tentu sebuah usaha yang
sangat perlu. Nilai-nilai positif yang terkandung di dalam naskah Langendriyan
biasa dijadikan pembelajaran karena tetap relevan dengan persoalan berbangsa di
era sekarang.
Salah satu naskah Langendriyan yang berpotensi dikaji adalah Ranggalawe Gugur.Cerita alam Ranggalawe Gugur adalah perjuangan seorang senapati Majapahit dalam membela kerajaan.Nilai-nilai
kepahlawanan yang diajarkan Ranggalawe dapat dijadikan teladan bagi seluruh lapisan
masyarakat, utamanya para pejabat yang mengemban amanah membesarkan bangsa
Indonesia ini.
Kesenian ini memiliki
catatan sejarah yang cukup unik.Diceritakan saat mangkunegaraan dipimpin oleh
KGPAA IV, terdapat sebuah pabrik batik besar yang dimiliki oleh seorang berketurunan
Jerman bernama Mr. Gottlieb. Versi Kasunanan Surakarta diceritakan bahwa tradisi
ini bermula dari tradisi 'ura-ura' atau menembang yang dilakukan oleh buruh batik di perusahaan
batik milik Godlieb di daerah Pasar Pon, Solo, pada masa Mangkunegoro IV
(1853-1881) oleh Raden Mas Haria Tanda kusuma, menantunya. Sedangkan menurut Kasultanan
Yogyakarta Langendriyan ini diciptakan oleh Raden Tumenggung Purwaduningrat dan
KGPAA Mangkubumi, putera Sri Sultan Hamengkubuwono VI (1876). Perkembangan langendriyan
di istana Mangkunagaran juga tidak dapat dilepaskan dari peranan Mangkunagara
IV.
Langendriyan
yang diciptakan oleh Raden Mas Arya Tandhakusuma, pada mulanya merupakan suatu bentuk
kesenian yang dibuat di luar tembok istana Mangkunagaran atas inisiatif Von
Gottlieb, seorang pengusaha batik berkebangsaan Jerman di Surakarta sebagai persembahan
kepada Mangkunagara IV. Oleh karena Mangkunagara IV sangat berkenan terhadap sajian langendriyan
yang diperagakan oleh para pekerja batik wanita, ia kemudian berkeinginan untuk
mengembangkannya menjadi kesenian istana (Drewes, 1974: 208 dan Relung Pustaka,
1970: 43).
Langendriyan
yang membawakan cerita Damarwulan dan langenmandrawanaran yang membawakan cerita
Ramayana merupakan dua bentuk kesenian yang juga lahir di luar tembok keraton,
masing-masing diciptakan oleh Raden Tumenggung Purwadiningrat pada tahun 1876
dan Kangjeng Pangeran Harya Yudanagara (PatihDanureja VII) pada tahun 1890,
dalam pementasan di keratin dilakukan dengan posisi jongkok (jengkeng)
(Suharto, dkk., 1999: 17-18).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar