Selasa, 04 Februari 2014

Drama Tari Jawa Langendriyan


Langendriyan adalah kesenian Jawa yang berbentuk drama tari. Apabila Langendriyan dibandingkan dengan wayang orang yang juga satu bentuk drama tari, tetap memiliki perbedaan.Perbedaan itu tampak pada bentuk dialog yang digunakan. Bentuk pertunjukkan wayang orang pada umumnya menggunakan dialog antawacana (percakapan biasa) dan kadang-kadang ada sedikit tembangnya, sedangkan Langendriyan semua dialognya menggunakan tembang

Oleh karena itu, dapat disebutkan bahwa Langendriyan adalah dramatari dengan menggunakan dialog tembang. Artinya pemeran tokoh dalam cerita Langendriyan ketika berdialog menggunakan tembang macapat, yang kadang-kadang dalam satu pupuh tembang dibawakan oleh seroang saja, tetapi terkadang juga dibawakan oleh lebih dari satu orang secara bergantian.

Dialog dalam Langendriyan sangat erat kaitannya dengan nilai sastra. Jalinan cerita tercipta melalui urutan tembang sehingga memiliki nilai sastra yang sangat tinggi.Menganalisis naskah Langendriyan kemudian mempublikasikannya di hadapan pembaca kekinian tentu sebuah usaha yang sangat perlu. Nilai-nilai positif yang terkandung di dalam naskah Langendriyan biasa dijadikan pembelajaran karena tetap relevan dengan persoalan berbangsa di era sekarang. 


Salah satu naskah Langendriyan yang berpotensi dikaji adalah Ranggalawe Gugur.Cerita alam Ranggalawe Gugur adalah perjuangan seorang  senapati Majapahit dalam membela kerajaan.Nilai-nilai kepahlawanan yang diajarkan Ranggalawe dapat dijadikan teladan bagi seluruh lapisan masyarakat, utamanya para pejabat yang mengemban amanah membesarkan bangsa Indonesia ini.


Kesenian ini memiliki catatan sejarah yang cukup unik.Diceritakan saat mangkunegaraan dipimpin oleh KGPAA IV, terdapat sebuah pabrik batik besar yang dimiliki oleh seorang berketurunan Jerman bernama Mr. Gottlieb. Versi Kasunanan Surakarta diceritakan bahwa tradisi ini bermula dari tradisi 'ura-ura' atau menembang  yang dilakukan oleh buruh batik di perusahaan batik milik Godlieb di daerah Pasar Pon, Solo, pada masa Mangkunegoro IV (1853-1881) oleh Raden Mas Haria Tanda kusuma, menantunya. Sedangkan menurut Kasultanan Yogyakarta Langendriyan ini diciptakan oleh Raden Tumenggung Purwaduningrat dan KGPAA Mangkubumi, putera Sri Sultan Hamengkubuwono VI (1876). Perkembangan langendriyan di istana Mangkunagaran juga tidak dapat dilepaskan dari peranan Mangkunagara IV.

 Langendriyan yang diciptakan oleh Raden Mas Arya Tandhakusuma, pada mulanya merupakan suatu bentuk kesenian yang dibuat di luar tembok istana Mangkunagaran atas inisiatif Von Gottlieb, seorang pengusaha batik berkebangsaan Jerman di Surakarta sebagai persembahan kepada Mangkunagara IV. Oleh karena Mangkunagara  IV sangat berkenan terhadap sajian langendriyan yang diperagakan oleh para pekerja batik wanita, ia kemudian berkeinginan untuk mengembangkannya menjadi kesenian istana (Drewes, 1974: 208 dan Relung Pustaka, 1970: 43). 

Langendriyan yang membawakan cerita Damarwulan dan langenmandrawanaran yang membawakan cerita Ramayana merupakan dua bentuk kesenian yang juga lahir di luar tembok keraton, masing-masing diciptakan oleh Raden Tumenggung Purwadiningrat pada tahun 1876 dan Kangjeng Pangeran Harya Yudanagara (PatihDanureja VII) pada tahun 1890, dalam pementasan di keratin dilakukan dengan posisi jongkok (jengkeng) (Suharto, dkk., 1999: 17-18).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar